Minggu, 10 April 2011

ALLAH ADA TANPA
TEMPAT DAN ARAH
Sesungguhnya
keyakinan bahwa Allah
ada tanpa tempat
adalah aqidah Nabi
Muhammad, para
sahabat dan orang-
orang yang mengikuti
jejak mereka. Mereka
dikenal dengan
Ahlussunnah Wal
Jama ’ah; kelompok
mayoritas ummat yang
merupakan al-Firqah
an-Najiyah (golongan
yang selamat). Dalil
atas keyakinan tersebut
selain ayat di atas
adalah firman Allah:
“Dia (Allah) tidak
menyerupai sesuatupun
dari makhluk-Nya, dan
tidak ada sesuatupun
yang menyerupai-Nya ”.
(QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat
yang paling jelas dalam
al-Qur ’an yang
menjelaskan bahwa
Allah sama sekali tidak
menyerupai makhluk-
Nya. Ulama Ahlussunnah
menyatakan bahwa
alam (makhluk Allah)
terbagai atas dua
bagian; yaitu benda dan
sifat benda. Kemudian
benda terbagi menjadi
dua, yaitu benda yang
tidak dapat terbagi lagi
karena telah mencapai
batas terkecil (para
ulama menyebutnya
dengan al-Jawhar al-
Fard), dan benda yang
dapat terbagi menjadi
bagian-bagian (jism).
Benda yang terakhir ini
(jism) terbagi menjadi
dua macam;
1. Benda Lathif; benda
yang tidak dapat
dipegang oleh tangan,
seperti cahaya,
kegelapan, ruh, angin
dan sebagainya.
2. Benda Katsif; benda
yang dapat dipegang
oleh tangan seperti
manusia, tanah, benda-
benda padat dan lain
sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat
benda adalah seperti
bergerak, diam,
berubah, bersemayam,
berada di tempat dan
arah, duduk, turun, naik
dan sebagainya. Ayat di
atas menjelaskan
kepada kita bahwa
Allah ta ’ala tidak
menyerupai makhluk-
Nya, bukan merupakan
al-Jawhar al-Fard, juga
bukan benda Lathif atau
benda Katsif. Dan Dia
tidak boleh disifati
dengan apapun dari
sifat-sifat benda. Ayat
tersebut cukup untuk
dijadikan sebagai dalil
bahwa Allah ada tanpa
tempat dan arah.
Karena seandainya
Allah mempunyai
tempat dan arah, maka
akan banyak yang
serupa dengan-Nya.
Karena dengan
demikian berarti ia
memiliki dimensi
(panjang, lebar dan
kedalaman). Sedangkan
sesuatu yang demikian,
maka ia adalah makhluk
yang membutuhkan
kepada yang
menjadikannya dalam
dimensi tersebut.
Rasulullah bersabda:
“ Allah ada pada azal
(Ada tanpa permulaan)
dan belum ada
sesuatupun selain-Nya ”.
(H.R. al-Bukhari, al-
Bayhaqi dan Ibn al-
Jarud)
Makna hadits ini bahwa
Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada
sesuatu (selain-Nya)
bersama-Nya. Pada azal
belum ada angin,
cahaya, kegelapan,
‘ arsy, langit, manusia,
jin, malaikat, waktu,
tempat dan arah. Maka
berarti Allah ada
sebelum terciptanya
tempat dan arah, maka
Ia tidak membutuhkan
kepada keduanya dan Ia
tidak berubah dari
semula, yakni tetap ada
tanpa tempat dan arah,
karena berubah adalah
ciri dari sesuatu yang
baru (makhluk).
Maka sebagaimana
dapat diterima oleh
akal, adanya Allah
tanpa tempat dan arah
sebelum terciptanya
tempat dan arah, begitu
pula akal akan
menerima wujud-Nya
tanpa tempat dan arah
setelah terciptanya
tempat dan arah. Hal ini
bukanlah penafian atas
adanya Allah.
Sebagaimana
ditegaskan juga oleh
sayyidina ‘Ali ibn Abi
Thalib -semoga Allah
meridlainya-:
“Allah ada (pada azal)
dan belum ada tempat
dan Dia (Allah)
sekarang (setelah
menciptakan tempat)
tetap seperti semula,
ada tanpa
tempat” (Dituturkan
oleh al-Imam Abu
Manshur al-Baghdadi
dalam kitabnya al-Farq
Bayn al-Firaq, h. 333).
Al-Imam al-Bayhaqi (w
458 H) dalam kitabnya
al-Asma Wa ash-Shifat,
hlm. 506, berkata:
“Sebagian sahabat kami
dalam menafikan
tempat bagi Allah
mengambil dalil dari
sabda Rasulullah:
“Engkau Ya Allah azh-
Zhahir (yang segala
sesuatu menunjukkan
akan ada-Nya), tidak
ada sesuatu apapun di
atas-Mu, dan Engkau al-
Bathin (yang tidak
dapat dibayangkan)
tidak ada sesuatu
apapun di bawah-Mu
(HR. Muslim dan
lainnya). Jika tidak ada
sesuatu apapun di atas-
Nya dan tidak ada
sesuatu apapun di
bawah-Nya maka
berarti Dia ada tanpa
tempat ”.
Al-Imam as-Sajjad Zain
al- ‘Abidin ‘Ali ibn al-
Husain ibn ‘Ali ibn Abi
Thalib (w 94 H) berkata:
“Engkaulah ya Allah
yang tidak diliputi oleh
tempat ”. (Diriwayatkan
oleh al-Hafizh az-Zabidi
dalam Ithaf as-Sadah al-
Muttaqin Bi Syarh Ihya ’
‘Ulumiddin dengan
rangkaian sanad
muttashil mutasalsil
yang kesemua
perawinya adalah Ahl
al-Bayt; keturunan
Rasulullah).
Adapun ketika
seseorang
menghadapkan kedua
telapak tangan ke arah
langit ketika berdoa,
hal ini tidak
menandakan bahwa
Allah berada di arah
langit. Akan tetapi
karena langit adalah
kiblat berdoa dan
merupakan tempat
turunnya rahmat dan
barakah. Sebagaimana
apabila seseorang
ketika melakukan
shalat ia menghadap
ka ’bah. Hal ini tidak
berarti bahwa Allah
berada di dalamnya,
akan tetapi karena
ka ’bah adalah kiblat
shalat. Penjelasan
seperti ini dituturkan
oleh para ulama
Ahlussunnah Wal
Jama ’ah seperti al-Imam
al-Mutawalli (w 478 H)
dalam kitabnya al-
Ghun-yah, al-Imam al-
Ghazali (w 505 H) dalam
kitabnya Ihya
‘ Ulumiddin, al-Imam an-
Nawawi (w 676 H) dalam
kitabnya Syarh Shahih
Muslim, al-Imam
Taqiyyuddin as-Subki (w
756 H) dalam kitab as-
Sayf ash-Shaqil, dan
masih banyak lagi.
Al-Imam Abu Ja ’far ath-
Thahawi -Semoga Allah
meridlainya- (w 321 H)
berkata:
“Maha suci Allah dari
batas-batas (bentuk
kecil maupun besar, jadi
Allah tidak mempunyai
ukuran sama sekali),
batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang
besar (seperti wajah,
tangan dan lainnya)
maupun anggota badan
yang kecil (seperti
mulut, lidah, anak lidah,
hidung, telinga dan
lainnya). Dia tidak
diliputi oleh satu
maupun enam arah
penjuru (atas, bawah,
kanan, kiri, depan dan
belakang); tidak seperti
makhluk-Nya yang
diliputi oleh enam arah
penjuru tersebut ”.
Perkataan al-Imam Abu
Ja ’far ath-Thahawi ini
merupakan
Ijma ’ (konsensus) para
sahabat dan ulama Salaf
(orang-orang yang
hidup pada tiga abad
pertama hijriyah).
Diambil dalil dari
perkataan tersebut
bahwasannya bukanlah
maksud dari Mi ’raj
bahwa Allah berada di
arah atas lalu Nabi
Muhammad naik ke
arah sana untuk
bertemu dengan-Nya.
Melainkan maksud
Mi’raj adalah untuk
memuliakan Rasulullah
dan memperlihatkan
kepadanya keajaiban-
keajaiban makhluk
Allah sebagaimana
dijelaskan dalam al
Qur’an surat al-Isra ayat
1.
Dengan demikian tidak
boleh dikatakan bahwa
Allah ada di satu
tempat, atau disemua
tempat, atau ada di
mana-mana. Juga tidak
boleh dikatakan bahwa
Allah ada di satu arah
atau semua arah
penjuru. Al-Imam Abu
al-Hasan al-Asy ’ari (w
324 H) -Semoga Allah
meridlainya- berkata:
“Sesungguhnya Allah
ada tanpa
tempat ” (Diriwayatkan
oleh al-Bayhaqi dalam
kitab al-Asma Wa ash-
Shifat).
Al-Imam al-Asy’ari juga
berkata: “Tidak boleh
dikatakan bahwa Allah
di satu tempat atau di
semua tempat ”.
Perkataan al-Imam al-
Asy ’ari ini dinukil oleh
al-Imam Ibn Furak (w
406 H) dalam kitab al-
Mujarrad. Syekh Abd al-
Wahhab asy-Sya ’rani (w
973 H) dalam kitab al-
Yawaqit Wa al-Jawahir
menukil perkataan
Syekh Ali al-Khawwash:
“ Tidak boleh dikatakan
Allah ada di mana-
mana ”. Maka aqidah
yang wajib diyakini
adalah bahwa Allah ada
tanpa arah dan tanpa
tempat.
Perkataan al-Imam ath-
Thahawi di atas juga
merupakan bantahan
terhadap pengikut
paham Wahdah al-
Wujud; mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah menyatu dengan
makhluk-makhluk-Nya,
juga sebagai bantahan
atas pengikut paham
Hulul; mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah menempati
sebagian makhluk-Nya.
Dua keyakinan ini
adalah kekufuran
berdasarkan
Ijma ’ (konsensus)
seluruh orang Islam
sebagaimana dikatakan
oleh al-Imam as-Suyuthi
(w 911 H) dalam kitab
al-Hawi Li al-Fatawi,
dan Imam lainnya. Para
Imam panutan kita dari
ahli tasawuf sejati
seperti al-Imam al-
Junaid al-Baghdadi (w
297 H), al-Imam Ahmad
ar-Rifa ’i (w 578 H),
Syekh Abd al-Qadir al-
Jailani (w 561 H) dan
semua Imam tasawwuf
sejati; mereka semua
selalu mengingatkan
orang-orang Islam dari
para pendusta yang
menjadikan tarekat dan
tasawuf sebagai sebagai
wadah untuk meraih
dunia, padahal mereka
berkeyakinan Wahdah
al-Wujud dan Hulul.
Dengan demikian
keyakinan ummat Islam
dari kalangan Salaf dan
Khalaf telah sepakat
bahwa Allah ada tanpa
tempat dan arah.
Sementara keyakinan
sebagian orang yang
menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya;
mereka yang
berkeyakinan bahwa
Allah adalah benda yang
duduk di atas Arsy,
adalah keyakinan sesat.
Keyakinan ini adalah
penyerupaan Allah
dengan makhluk-Nya,
karena duduk adalah
salah satu sifat
manusia. Para ulama
Salaf bersepakat bahwa
barangsiapa yang
menyifati Allah dengan
salah satu sifat di
antara sifat-sifat
manusia maka ia telah
kafir, sebagaimana hal
ini ditulis oleh al-Imam
al-Muhaddits as-Salafi
Abu Ja ’far ath-Thahawi
(w 321 H) dalam kitab
aqidahnya yang
terkenal dengan nama
“ al-‘Aqidah ath-
Thahwiyyah”. Beliau
berkata:
“Barang siapa mensifati
Allah dengan salah satu
sifat dari sifat-sifat
manusia, maka ia telah
kafir ”.
Perhatian….!
Waspadai.. Keyakinan
Tasybih [Keyakinan
Allah serupa dengan
makhluk-Nya] yang kian
hari semakin merebak …
Jangan sampaai
merusak genarasi
kita!!!?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar